Pages

Minggu, 30 Januari 2011

cerpen untitled


ini cerpen yang gua buat dengan susah payah sampe ngeluarin keringet seember *lebay. eh, tapi beneran loh. bikinnya ga gampang. gua bikin dari jam 6 sampe jam 6 lagi. sebenernya sih ini cerpen tugas bahasa indonesia gua. langsung aja deh gua copy-paste. nih.

          Wajah Ari tampak lebih cerah. Jauh lebih cerah dibandingkan 3 bulan lalu. Aku masih ingat bagaimana wajahnya setelah peristiwa itu. Peristiwa yang membuatnya merasa sangat putus asa. Peristiwa yang menghapus senyum di wajahnya. Peristiwa yang juga merenggut nyawa orang-orang terkasihnya.
          “Hei, ngapain bengong begitu?”, sapa Ari ketika ia duduk di sebelahku.
          “Eh kamu, Ri. Nggak ada apa-apa. Aku cuma lagi mikir...”, kutahan ucapanku saat aku menatap matanya. Ya, matanya yang bening itu. Aku tak sanggup melanjutkan kata-kataku. Aku tak ingin ia kembali terjebak dalam masa lalunya yang kelam. Aku takut membuatnya menangis lebih dari yang pernah aku liat. Sebuah tangisan penyesalan.
          “Hm, ini.. Aku lagi mikirin tugas akhir sekolah. Susah banget nyari bahannya.”
          “Oh, santai aja kali. Masih 3 bulan lagi, kan?”
          “Iya sih..”
          “KRIIIING...KRIIIING...KRIIIING...” Bel masuk berbunyi.
          Beberapa menit kemudian Pak Kun, guru biologiku, memasuki kelas. Selama beliau menjelaskan, aku tidak memperhatikannya. Aku terlalu sibuk memikirkan Ari. Bagaimana ia bisa berubah secepat itu. Bagaimana ia bisa. Aah, rasanya akan sia-sia mengulang pertanyaan itu dalam pikiranku. Biasanya dia akan memberitahukan semuanya kepada kami, sahabat-sahabatnya. Ya, kami. Kami bertiga bahkan mendapat julukan “Tiga Sekawan”. Aku, Ari, dan Desta. Mereka pikir kami bertiga dapat saling melengkapi kekurangan kami dan memang itulah yang berusaha kami lakukan.
          Ari adalah anak konglomerat. Ayahnya adalah direktur utama sebuah perusahaan mebel terkenal. Rumahnya saja seperti istana. Dia termasuk orang yang banyak bicara atau bisa dibilang cerewet. Karena itulah dia dikenal supel oleh teman-teman. Tetapi, yang aku suka darinya adalah walaupun dia banyak bicara, dia adalah pendengar yang baik. Dia bisa menjaga rahasia-rahasiaku. Kalau aku sedang ada masalah, aku akan melimpahkan semua keluh kesahku padanya. Begitu juga teman-temanku yang lain. Suatu saat nanti, mungkin dia bisa menjadi consellor yang baik.
          Berbeda denganku, aku tergolong anak yang biasa-biasa saja. Walaupun aku tidak sepintar Desta, tapi aku juga tidak bodoh-bodoh amat. Paling tidak aku selalu masuk peringkat 10 besar. Aku sangat suka pelajaran olahraga. Aku juga sering mewakili sekolahku dalam banyak kejuaraan dan tidak jarang aku menyumbang piala untuk sekolah.
          Desta yang paling pintar di antara kami. Peringkat pertama di setiap semester dan juara umum setiap tahun hanyalah makanan ringan baginya. Belum lagi banyak olimpiade-olimpiade yang sudah dijuarainya. Banyak guru yang menganakemaskannya. Untuk seseorang seperti dia, wajar saja kalau hobinya membaca buku. Karena hobinya itulah, dia menjadi anak yang tidak banyak berbicara dan terlihat angkuh. Hal itu membuat Ari penasaran dengan Desta.  Ia tidak habis pikir bagaimana mungkin seseorang bisa diam begitu lama tanpa satu patah kata pun keluar dari bibirnya. Tentu saja Ari bisa berpikir seperti itu karena dia adalah orang yang paling tidak bisa diam dan paling tidak bisa berhenti bicara. Akhirnya ia mencoba mengajak Desta berbicara pada suatu hari di jam istirahat.
          “Hallo, aku Ari dan ini sahabatku, Tasya.” Katanya sambil mengulurkan tangan.
          Tak ada jawaban.
          “Pasti kamu udah tau ya? Kamu kan orang pinter. Hehe..” kata-katanya terkesan sok dekat.
          “Ada apa?” jawab Desta dengan angkuh.
          “Sombong banget sih nih cowok”
          Tapi sikap angkuh Desta tidak membuat Ari patah semangat. Ia semakin merasa penasaran dengannya.
          “Nggak ada apa-apa kok. Cuma..” belum sempat Ari melanjutkan kalimatnya, Desta sudah mendahuluinya dan berkata,
          “Kalau nggak ada apa-apa. Ya sudah. Nggak usah ganggu orang lain bisa, kan?”
          Aku mengerutkan alisku.
          “Nih orang mau diajak temenan baik-baik malah sewot..”
          “Aku heran sama kamu. Kenapa sih kamu nggak pernah ngobrol sama anak lain?”
          “Bukan urusan kamu.”
          “Apa kamu nggak punya temen?”
          “Buat apa punya temen kalau kamu bisa melakukan semuanya sendiri?”
          “Loh, bukannya kamu orang pinter, ya? Masa nggak tau sih kalau manusia itu makhluk sosial yang membutuhkan orang lain.”
          “Kadang teori nggak sesuai dengan kenyataan.”
          “Terserah kamu deh. Aku cuma mau jadi temen kamu. Kalau kamu merasa terganggu, aku minta maaf. Yuk, Sya! Kita pergi.”
          Kami meninggalkan Desta sendiri di kelas. Selama sepersekian detik aku melihatnya menatap kami. Entah bagaimana, sejak saat itu Ari jadi sering mengajaknya mengobrol dan Desta terlihat melunak. Akhirnya kami menjadi seperti sekarang. Kami bertiga. Tiga sekawan yang tidak akan terpisahkan.
          “KRIIIIING...KRIIIIING...KRIIIIING...” Bel istirahat membuyarkan lamunanku. Aku segera merapikan buku-bukuku. Begitu juga Ari. Setelah merapikan buku, kulihat Desta sudah berdiri di depan kelas menunggu kami. Kami, seperti biasa, pergi ke kantin  bersama.
          Kantin sekolahku terletak di ujung koridor kelasku. Ruangannya cukup besar karena harus menampung ribuan siswa. Kantin kami dibuat terbuka agar para siswa dapat rileks dengan taman di sekelilingnya. Makanannya pun sangat beragam. Dari masakan Indonesia sampai mancanegara. Belum lagi sebuah televisi LCD terpasang di dinding tepat di atas tempat kami memesan makanan. Sebelum memasuki kantin terdapat toilet siswa yang cukup bersih.
          Setelah memesan makanan, kami duduk di bagian tengah kantin. Menurutku, inilah tempat yang paling nyaman. Banyak murid yang ingin duduk di tempat kami berada sekarang. Dari tempat kami, aku bisa melihat taman belakang sekolahku yang indah tetapi tidak ketinggalan berita terbaru. Benar-benar tempat duduk yang strategis. Aku menyalakan televisi dan..
          “Selamat siang, pemirsa. Sindikat teroris yang tengah dikejar Densus 88 akhir-akhir ini, baru saja tertangkap. Penyergapan berlangsung selama tiga jam setelah terdengar baku tembak dari dalam pondok yang diduga adalah markas mereka. Sindikat teroris ini sudah banyak memakan korban. Korban-korbannya adalah para petinggi perusahaan-perusahaan besar yang diduga melakukan korupsi. Salah satu korbannya adalah keluarga Rudi Tamiansyah. Direktur utama perusahaan mebel ternama di Indonesia ini ditemukan tewas bersama istri dan putri bungsunya di kediamannya di daerah Tebet. Putri pertamanya masih hidup karena pada saat kejadian, dia sedang tidak berada di rumahnya. Menurut informasi yang kami dapat, kini ia tinggal dengan keluarga pamannya. Headline News kali ini akan diakhiri dengan rekaman video penyergapan sindikat teroris ini. Headline News selanjutnya akan hadir satu jam yang akan datang. Sekian dan selamat siang.”
          Aku berpaling kepada Ari dan melihatnya tertunduk lesu. Aku menggenggam tangannya sedangkan Desta mengganti channel televisi.
          “Aku baik-baik aja kok, Sya, Des..” katanya sambil tersenyum simpul kepada kami. Desta membalas senyumannya sedangkan aku hanya memandangnya dengan tatapan cemas.
          “Permisi, ini pesanannya. Silahkan dinikmati.” Mbak Reni, salah satu pramusaji kantin sekolahku datang dengan membawa pesanan kami.

***
          Saat pulang sekolah, Ari mengundang kami ke rumah pamannya. Inilah saat yang kutunggu. Dia menceritakan peristiwa yang dialaminya di rumah sakit setelah percobaan bunuh dirinya 2 bulan yang lalu. Peristiwa yang tidak akan pernah aku lupakan karena akulah yang pertama kali menemukannya terbaring berlumuran darah.
          Waktu itu, aku dan Desta mengunjungi Ari yang masih berduka atas kehilangan keluarganya. Dia terlihat sangat rapuh dan kurus karena sudah beberapa hari tidak makan. Ketika kami masuk, dia langsung memelukku erat. Selama Ari menceritakan semua yang dilihatnya waktu itu, dia menangis sejadinya. Seperti yang sudah kusebutkan sebelumnya, sebuah tangisan penyesalan. Dia selalu saja berharap dia bisa mengulang peristiwa itu. Kalau waktu itu dia pulang lebih awal, mungkin dia dan keluarganya sudah berada di surga sekarang. Dia akan melakukan apa saja asalkan dia bisa terus bersama keluarganya. Keluarga yang dicintainya. Dia bahkan sempat berkata ingin mati saja. Karena dia pikir dia sudah tidak punya apa-apa lagi di dunia ini. Ari pikir dia lebih baik mati.
          “Kamu nggak boleh ngomong kayak gitu, Ri. Kamu harus tetap hidup. Tuhan pasti punya rencana baik buat kamu.” Aku tidak tahu lagi harus berkata apa.
          “Tasya benar. Lagipula, masih ada kami. Sahabat-sahabatmu. Kami pasti akan selalu membantu kamu kalau kamu sedang sedih. Seperti sekarang.” Desta menambahkan seakan dia tahu aku tidak dapat berkata-kata lagi. Aku tersenyum kepada Ari tetapi ia memalingkan wajahnya.
          “Mungkin kalian benar.”
          “Bukan mungkin, Ri. Tapi pasti.” Aku berusaha menyemangatinya.
          “Yaah, rasanya aku butuh istirahat.” Ari setengah mengusir.
          “Oke, lagian udah sore. Aku antar kamu pulang ya, Sya.” Ajak Desta.
          “Oh, iya boleh. Pulang dulu ya, Ri. Take care.” Aku memeluk Ari. Kemudian menutup pintu kamarnya dan segera pergi.
          Di tengah perjalanan pulang, aku teringat ponselku yang tertinggal di kamar Ari.
          “Des! Des! Balik arah, Des! Handphoneku ketinggalan.” Dengan panik aku menyuruh Desta untuk kembali ke rumah Ari.
          “Oke”
          Tapi, perasaan apa ini? Benar-benar tidak enak. Seperti sesuatu yang buruk akan terjadi atau memang sudah? Aku tidak tahu. Begitu aku sampai di depan kamar Ari, kuketuk pintunya.
          “Tok..Tok..Tok..”
          “Ri, aku masuk ya? Handphoneku ketinggalan. Ri?”
          Tidak ada jawaban. Kubuka pintu kamarnya perlahan. Tidak dikunci. Lalu aku masuk dan mendapati Ari yang tengah memegang pecahan kaca di tangan kanannya dan kulihat sobekan kulit di tangan kirinya. Tepat di nadinya. Darahnya berlumuran di mana-mana. Sontak aku teriak histeris.
          “Aaaaaaaaaaaaaaa!! Ariiiiiiiiiiiiiiiii!!!”
          Desta yang tadi berada di luar segera memasuki kamar Ari setelah mendengar teriakanku dengan setengah berlari. Aku tidak tahu harus berbuat apa. Aku begitu terkejut. Desta menelepon ambulans. Aku tidak dapat menahan air mataku. Aku takut. Aku takut kehilangan Ari. Sahabatku.
          Beberapa menit kemudian ambulans datang dan segera membawanya ke rumah sakit. Malam itu aku dan Desta menunggu di rumah sakit. Dokter bilang kalau terlambat sedikit saja mungkin kami bisa kehilangan Ari.

***
          “Jadi,..” Ari memulai pembicaraan.
          “Kalian nggak perlu khawatir lagi sama aku. Aku nggak akan pernah mencoba untuk bunuh diri lagi. Aku tahu aku bodoh banget waktu itu. Aku gelap mata. Aku selalu memikirkan keluargaku padahal di depanku ada kalian. Sahabat-sahabatku yang sayang banget sama aku. Aku berterima kasih banget sama kalian. Kalau waktu itu nggak ada kalian, mungkin aku nggak ada di sini sekarang. Kalian pasti bertanya-tanya kan? Bagaimana aku bisa mengubah pikiranku itu?”
          Aku mengangguk sedangkan Desta siap mendengarkan dengan serius.
          “Jujur saja, sewaktu di rumah sakit aku masih punya niat untuk bunuh diri. Aku menunggu-nunggu saat yang tepat sampai aku bertemu gadis itu. Gadis yang telah mengubah pikiran sempitku. Gadis sebatang kara itu. Gadis yang kakinya harus diamputasi karena kecelakaan yang menimpa dirinya dan keluarganya. Tetapi aku selalu melihatnya tersenyum bahkan dia selalu bercanda tawa dan menyemangati pasien-pasien di rumah sakit itu. Termasuk aku...
          Suatu hari dia berkunjung ke kamarku saat aku akan bunuh diri lagi. Dia bercerita bagaimana dulu dia sama terpuruknya sepertiku. Bedanya, dia disadarkan oleh seorang perawat tua di rumah sakit itu. Perawat yang dengan senang hati merawatnya dan selalu menghiburnya. Namun, karena umur perawat itu sudah tua, beliau akhirnya meninggal. Kemudian gadis itu bertekad akan membuat pasien-pasien di rumah sakit itu bahagia walaupun sedang sakit. Dan dia berhasil. Banyak pasien yang meninggalkan rumah sakit itu keluar dengan senyuman karena gadis itu...
          Dari kisahnya, aku mendapatkan pelajaran yang berharga. Kalian benar. Sekarang aku percaya kalau Tuhan pasti punya rencana yang terbaik untuk umat-Nya. Terima kasih.”
          Ari tersenyum kepada kami. Aku tidak dapat menahan air mata yang menetes di pipiku. Aku memeluk Ari dengan erat. Aku bersyukur Ari yang dulu telah kembali. Ari yang kukenal.
          “Ngomong-ngomong, siapa nama gadis itu?” tanyaku penasaran.
          “Aah! Aku lupa nanya!”
          Selama satu detik mata kami memandang dan kami pun tertawa.
          “Hahahaha, dasar kamu nih!”
          Siapapun dia. Thanks to her. :)

yup, karena nih cerpen belum ada judulnya, gua minta bantuan kalian yang baca cerpen ini buat ngasih judul. hehe. mohon bantuannya. makasih.

Kamis, 27 Januari 2011

CIMENG CI emeng :)

dari judulnya aja pasti udah pada tau kan gue bakalan cerita apa? yup, felis silvestris catus (liat di tante wiki) atawa 'kucing' atau kalo bahasa tambelang nya sih 'cat' yahh sami mawon lah.. pokonya mah yang suaranya meong meong itu loo.. 


asal lo tau aja ya, di sekolah gue itu, tau ga sih lo? *pasang tampang ngajak ribut* kan ada kucing tuh, luuuuccuuuuuuuuuu banget deh. warnanya oren putih gitu kaya garfield. temen gue aja sampe ada yang bilang, "kalo nih kucing jadi manusia, pasti dikejar cowo-cowo.." --' btw, kucingnya tuh lagi hamil. gosip-gosipnya nih.. si GEYN yang hamilin!! gue sih percaya ga percaya. secara si geyn tampangnya kaya gitu (kaya gimana coba?)


nah, karna tuh kucing deket ama geyn, jadilah itu kucing sering mampir ke kelas gua. pas lagi di kelas biasanya tu kucing dimain-mainin ama anak-anak cewe (termasuk gua). udah gitu, saking deketnya tuh kucing ama geyn, dia sampe tau makanan kesukaannya coba! so shit sweet banget kan? abis itu si geyn ngasih makan tuh kucing. gua ikutan deh.. eh, gua baru tau kalo kucing suka keripik keripikan. pas lagi makanin kucing (?) maksudnya ngasih makan kucing, si geyn curhat.. gue x dia y :


x : ko kucing suka begituan (keripik) geyn?
y : iya lah, kucing gua malah sering gua kasih ciki-cikian kaya citatos noh, demen dia
x : emang yak?
y : yaa, yang penting mah yang asin-asin
x : ooh, emang lu punya kucing geyn?
y : kaga, kucing tetangga. pertamanya gua kasih makan dulu biar gemuk abis itu gua ... *gua lupa dia ngomong apa
x : huahaha stress lu mah *ngakak ceritanya
y : haha, ya engga lah..


abis itu gua tinggal deh si geyn, gua nganterin ajeng bayaran trus jajan. eh, iseng gua beli keripik buat si emeng (nama yang kiky ama gua kasih buat si kucing) pas di kelas, (untungnya si emeng masih ada) gua kasih makan si emeng barengan sama ajeng. si ajeng tambah iseng aja ngasih minum tuh kucing. abis itu dian ikutan nimbrung, dia nanya "namanya siapa", trus gua jawab "emeng" trus kata siapa gitu "ih, jelek ah" trus kata gua, "yodah cimeng" (spontan tuh gua jawab) singkatan dari CI (kelas gua) sama emeng *bangga lo jadi anak CI? huahaha. trus kata dian, "yaudah, bagus bagus! *prokprokprok (sambil tepuk tangan) =="


okeh, segitu aja cerita soal si emeng alias cimeng, jangan lupa komeng komeng yaa


see ya